PADA dasarnya umat Islam itu satu tubuh
dan memiliki cita-cita besar yang sama. Keragaman elemen (organisasi atau
institusi) umat Islam hanyalah varian yang menunjukan bahwa Islam adalah agama
yang dapat dipahami dan didakwahkan dengan cara dan pola yang beragam pula. Hal
ini kemudian berefek positif kepada beragamnya elemen yang memperjuangkan
Islam. Jadi, dakwah Islam-lah yang menjadi titik temu perjuangan umat Islam.
Dalam
perjalanan sejarah dapat dipahami bahwa Islam sekaligus umatnya kerap
menghadapi berbagai tantangan. Menurut KH. Syamsul Bahri, diantara tantangan
yang cukup mengkhawatirkan adalah tantangan berupa virus yang menghinggap umat
Islam yaitu, pertama, virus al-wahn (cinta dunia dan takut mati), kedua, gemar bahkan bangga berbuat dosa.
Penyebab
kedua virus ini tentu saja banyak, misalnya, kebodohan, kemiskinan, frustasi,
tidak punya izzah (harga diri) dan
mudah terhasut opini atau citra buruk terhadap Islam dan umatnya yang bersumber
dari mereka yang tidak menghendaki bangkitnya Islam.
Untuk
itu, umat Islam perlu menyiapkan generasi yang siap berjihad-mendakwahkan
agamanya. Islam perlu para da’i tangguh yang siap membentengi aqidah dan sistem
kehidupan umat Islam dari berbagai penyakit dan citra buruk yang kerap
menghantui. Para da’i yang dibutuhkan tentu saja memiliki kualifikasi yang
khas, selain kemapuan juga akhlak atau keteladanan.
Sebagai
salah satu upaya “melawan” pencintraan buruk terhadap Islam dan umatnya, maka
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi massa Islam telah melakukan
langkah-langkah maju. Menurut Ketua PP Muhammadiyah Prof. DR. Dadang Kahmad
pada ulang tahun 2011 saja, misalnya Muhammadiyah telah mendirikan sarana dakwah
yaitu TV Muhammadiyah. Kemudian pada
2014 Muhammadiyah meluncurkan konten dalam HP semacam aplikasi yang bisa
diupload yang isinya adalah program program dakwah yang konkrit bagi perbaikan
umat dan bangsa.
Selain
itu, sebagai upaya dakwah Muhammadiyah juga telah mencoba mengobjektivikasi
prinsip-prinsip dakwah Islam dalam konteks yang lebih terbuka dan riil sesuai
dengan kebutuhan dakwah Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Sekadar contoh, Muhammadiyah telah mendirikan Universitas Muhammadiyah Kupang
di Kupang-NTT.
Kita
tentu mafhum bahwa NTT berpenduduk dengan mayoritas (baca: sekitar 50%) Katolik,
sedangkan umat Islam hanya sekitar 25% dari penduduk NTT. Sisanya Protestan,
Hindu, Budha dan Konghucu. Tapi, apakah dakwah Islam mesti berdiam diri atau
mundur ke belakang? Tentu saja tidak.
Walau
realitas sosial sekaligus sosiologis di NTT demikian adanya, Muhammadiyah tetap
memilih untuk berperan aktif. Muhammadiyah meyakini bahwa Islam merupakan agama
berkemajuan (progresif) dan berperadaban. Ciri utamanya adalah kesiapan dan
kepantasan menjadi sumber nilai dan prinsip hidup bagi manusia yang beragam
latar.
Dengan
begitu, Islam sejatinya menentang pemisahan yang kerap dilakukan secara
serampangan. Pandangan dikotomis yang dihadirkan oleh penganut paham sekularisme
adalah kenyataan yang ditentang oleh Muhammadiyah bahkan oleh Islam itu sendiri.
Jadi,
kehadiran berbagai institusi Muhammadiyah (terutama di daerah minoritas) adalah
bagian dari upaya Muhammadiyah dalam mengejahwantahkan pesan-pesan Islam dengan
tujuan menghadirkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Di sinilah cita rasa Islam menjadi relevan dan dapat dinikmati oleh umat Islam
bahkan oleh non muslim.
Bagaimanapun,
dakwah merupakan satu proses jangka panjang yang membutuhkan pola dan strtegi
yang mendatangkan maslahat. Dakwah mesti mampu menghadirkan manfaat
sebesar-besarnya bagi kebutuhan hidup umat manusia dalam berbagai
aspeknya.
Pemahaman
semacam ini hanya akan menjadi pemahaman yang terintegrasi dalam tubuh umat
Islam manakala umat Islam selalu memiliki tekad dan kesungguhan dalam mengkaji
Islam sehingga mampu meningkatkan produktifitas dakwah Islam. Di samping itu,
juga keseriusan umat Islam dalam mengelola zakat sebagai penunjang aspek
ekonomi, juga aspek pendidikan, aspek kesehatan dan aspek pengetahuan umat
Islam.
Saat
ini dan ke depan, umat Islam akan mengalami tantangan bertubi-tubi yang
membutuhkan kesiapan dan kesigapan umat Islam. Paham-paham “nyeleneh” saja
masih terus menyebar, misalnya: pluralisme, liberalisme, kesetaraan gender
serta tantangan kelokalan seperti kemiskinan, kualitas manusia, dan sebagainya.
Kita
tentu masih optimis bahwa umat Islam selalu siap dan bersedia menghadapi
tantangan dakwah semacam itu. Di sini yang dibutuhkan adalah paradigma berpikir
umat Islam yang mesti transendensi: semuanya untuk kepentingan dakwah kepada
Allah. Misalnya, ekonomi untuk dakwah, pendidikan untuk dakwah, politik untuk
dakwah, sosial budaya untuk dakwah, dan begitu seterusnya.
Bukan
saja Muhammadiyah, Hidayatullah yang juga punya peran besar dalam dakwah Islam
di Indonesia telah mencoba melakukan upaya-upaya dakwah sesuai dengan kebutuhan
kekinian dakwah Islam. Misalnya, Hidayatullah mendidirkan berbagai pondok
pesantren dari tingkat paling awal sampai menengah atas, bahkan mendirikan
berbagai perguruan tinggi di beberapa propinsi. Melalui institusi pendidikan
semacam inilah generasi muda disiapkan (baca: dididik), sehingga mereka matang
dan siaga menerima amanah dakwah kapan dan di manapun.
Kader-kader
Hidayatullah sendiri sudah menyebar ke hampir seluruh bumi Indonesia. Mereka
dikirim ke seluruh pelosok untuk membangkitkan umat Islam dari tidur lelapnya,
lalu mengajak mereka untuk menunaikan kerja-kerja besar sebagai umat terbaik
dalam sejarah hidup manusia.
Dalam
konteks itu, Hidayatullah telah membentengi mereka dengan bekal yang cukup.
Misalnya, mereka mesti punya stok: niat ikhlas, visi besar, cita-cita luhur,
optimis dengan agenda perjuangan; di samping ilmu pengetahuan dari berbagai
aspeknya.
Sebagaimana
ormas yang sduah dijelaskan di awal, ternyata Ikatan Dai Indonesia (IKADI) juga
megambil peran. Pengurus pusat IKADI, Dr. Ahmad Kusyaeri Suail mengakui bahwa sejak
2002 IKADI sudah tersebar di 30 povinsi di seluruh Indonesia. Diantara
kompetensi da’i IKADI yaitu (1) kompetensi fikriyah (pemikiran ilmiah), (2)
kompetensi perilaku dan (3) kompetensi da’wah.
Adapun
dalam konteks dakwah dan sosial, IKADI memiliki 5 peran penting yaitu peran
tauhid, peran tauiyah, peran taujih, peran irsyad, dan peran himayah.
Sebagai
penunjang dakwah, IKADI telah membentuk majelis Qur’an Hadits, Bina Desa, Buletin
Tafakkur, Website ikadi.org dan Pustaka IKADI. Dengan penunjang semacam ini
harapannya perjalanan dakwah dan peran sosial yang diemban oleh IKADI dapat
berjalan dengan baik dan masif.
Berdakwah
tentu bukan aspek ibadah semata, tapi juga urusan dunia yang berlaku bagi
seluruh umat manusia. Dalam konteks ini, misalnya, umat Islam mesti berdaya dan
kontributif dalam percaturan politik Indonesia.
Fahri
Hamzah (Wakil Ketua DPR RI, asal Partai Keadilan Sejahtera, PKS) mengakui
betapa pentingnya umat Islam untuk mengambil bagian strategis dalam menata atau
mengelola negara. Diakui oleh tokoh reformasi dan legislator yang “sangat
berani” tersebut bahwa kehidupan ini adalah pergumulan antara berbagai manusia
yang beragam latar. Berbagai latar manusia bertarung di sini.
Di
sini bukan soal kalah atau menang, tapi bagaimana bermanfaat atau tidak
bermanfaat. Keberadaan mereka yang kerap menghadirkan manfaat-lah yang patut
menjadi domain pemikiran kita ke depan.
Selain
itu, ada sektor lain yang juga mesti menjadi domain pemikiran dan agenda umat
Islam yaitu sektor pasar. Kita tentu tahu bahwa pengusaha muslim di negeri
mayoritas muslim ini sangat sedikit. Karena itu, umat Islam mesti mampu
mendayagunakan sektor ini secara riil dan masif. Pada saat yang sama umat Islam
juga perlu “mengajak” elemen lain yang menguasai sektor ini untuk membangun
negara.
Dengan
begitu, umat Islam elemen (baca: sektor) penting lain tidak termarjinalkan,
tapi justru semakin berdaya dan kontributif. Dalam kata umat itu sendiri
mengandung makna yang luhur seperti soliditas, kesepahaman dan saling percaya
serta kesiapan untuk berkontribusi, yang meniscayakan kita mampu bersaing dan
megambil peran penting pembangunan bangsa dan negara.
Hal
lain yang tak kalah pentingnya adalah media massa. Selain sebagai instrumen
bernegara, ia juga merupakan instrumen bermasyarakat bahkan berdakwah. Dengan
demikian, kita mesti memiliki peta skenario dalam memandang kehadiran media
massa dalam pentas bernegara. Tidak saja melihatnya dari sisi informasi, tapi
juga dari sisi kepentingan politik dan ekonomi dengan bangunan juga kerangka
ideologi yang dianutnya.
Dari
empat hal di atas (negara, pasar, umat dan media massa), manakah yang kini
sudah menjadi instrumen yang dikendalikan umat Islam dalam perjuangan dakwah?
Kita mesti akui secara jujur bahwa kita masih belajar dan perlu banyak belajar
menuju arah itu. Karena itu, umat Islam tidak perlu menyibukkan diri dengan
riak-riak kecil yang sejatinya tak ada pengaruhnya terhadap agenda keumatan dan
kebangsaan. Mari biasakan diri untuk hidup terbuka dan bersedia membersamai
bahkan berhadapan dengan orang lain, tapi tidak melupakan identitas kita
sebagai muslim.
Sekadar
contoh praktik riil yang mendayagunakan sektor-sektor di atas adalah Turki. Ya, Indonesia—terutama partai berbasis
massa Islam seperti PKS, PPP dan sebagainya—perlu banyak belajar ke Turki.
Erdogan dengan AKP-nya mampu menghadirkan pola baru yang efektif dalam
bernegara. Bangunan ekonomi, sosial, budaya bahkan pertahahanan negaranya
benar-benar adaptif dengan nalar bernegara era modern. Erdogan pun bukan saja
mendapat dukungan dan simpati umat Islam di Turki dan dunia Islam, tapi juga
warga dunia—termasuk negara-negara Eropa.
Dalam
konteks sejarah sebetulnya kita memiliki teladan yang sangat menyejarah bahkan
diakui sebagai pemimpin terbaik dunia dalam sejarah umat manusia. Siapapun tahu
siapa “manusia unik” itu, beliau adalah Nabi Muhammad Saw. Jika kita ingin
membangun peradaban masyarakat, bangsa dan negara bahkan dunia modern, maka
manusia yang layak dijadikan model sekaligus contoh (teladan, uswah) adalah
beliau, Rasulullah Saw. Kenali dirinya, pelajari sejarahnya lalu temukan
inspirasi perjuangan yang menghidupkan.
Di
atas segalanya, mudah-mudahan dengan beragamnya institusi keumatan tidak
membuat kita saling membelakangi, tapi justru menjadi peluang bagi kita untuk
selalu berhadapan: bertemu mencari titik temu perjuangan. []
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !