KH. Abdul Halim
(Ulama yang berjuang menentang
penjajah. Melayani umat melalui pendidikan agama plus wirausaha)
Pesawat pemburu Belanda berkali-kali
melepaskan tembakan dari angkasa Karesidenan Cirebon. Mereka beraksi lantaran
tidak puas atas Perjanjian Renville. Agresi militer II tersebut lantas dibalas Kiai
Haji Abdul Halim, seorang ulama dan pemimpin umat di Majalengka, dengan
bergerilya bersama rakyat yang berbasis di sekitar kaki Gunung Ciremai, Jawa
Barat. “Semasa perjuangan itu Abdul Halim langsung memimpin pasukan”, kata Miftahul
Falah, dosen Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung-Jawa
Barat. Bahkan karena besar perannya ketika itu dia dianggap sebagai bupati
masyarakat Majalengka Miftahul menambahkan.
Sebagai bupati masyarakat, Abdul
menjadi penghubung antara bupati resmi yaitu Mr. Makmun dengan masyarakat Majalengka.
“Seandainya tidak ada Abdul Halim, maka langkah-langkah strategis bupati menghadapi
Belanda tidak akan sampai ke rakyat”, kata Miftahul, yang pernah menulis buku
Riwayat Perjuangan KH. Abdul Halim (Masyarakat Seja-
rawan Indonesia Cabang Jawa Barat, 2008).
Akibat perlawanan pria kelahiran
Majalengka, 26 Juni 1887 ini, militer Belanda membombardir tempat tinggalnya di
Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Belanda mengetahui, putera Kiai Haji Muhammad
Iskandar dan Hj. Siti Mutmainah ini menyiapkan kader-kader bangsa sebagai pusat
pertahanan rakyat dan republik di wilayah Majalengka.
Setelah pengeboman itu, Abdul, anak dan
menantunya ditangkap Belanda. Tetapi penangkapan itu tidak membuat dia bekerja
sama dengan Belanda. “Ia tetap berjuang demi tegaknya proklamasi kemerdekaan”,
kata Miftahul.
Menurut Miftahul, pemilik nama kecil
Otong Syatori ini juga dikenang sebagai penentang keras pendirian Negara Pasundan
oleh R. A. A. Muhammad Musa Suria Kartalegawa, yang diduga merupakan boneka
Belanda, pada 1948. Abdul terus menggerakkan massa untuk menuntut pembubaran
Negara Pasundan itu. Gerakan itu akhirnya melebar hingga seluruh warga Jawa Barat
menuntut hal yang sama. “Hingga akhirnya perdana menteri Negara Pasundan itu
menyerahkan mandatnya itu kepada pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat)
dan melebur kembali dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)”, ujar Mifathul.
Ketika di pengujung kekuasaan Jepang,
Abdul diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai), untuk mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia pada 1945. Sepuluh tahun kemudian, Abdul terpilih menjadi
anggota Dewan Konstituante. “Dia wakil dari Masyumi. Pada 1959 beliau keluar
dari anggota Konstituante karena kesehatannya menurun akibat diabetes akut”,
kata Miftahul.
Kendati banyak terlibat sebagai
perintis kemerdekaan, lanjut Miftahul, Abdul juga berperan
besar dalam dunia pendidikan. Terdapat
dua peninggalan Abdul yang masih bertahan hingga hari ini: pesantren Santi
Asromo dan organisasi Persatuan Umat Islam (PUI) yang bergerak di bidang sosial
budaya. Santri Asromo merupakan pendidikan pesantren yang membekali siswa
dengan keterampilan. “Belajar di Santi Asromo ada pandai besi, menyuling minyak
kayu putih, bertani kopi dan lada serta beternak ayam, kambing dan ikan”, ujar
Dadah Cholidah, cucu Abdul Halim.
Sang kakek, menurut Dadah, memberi
pesan agar anak cucunya menjaga Santi Asromo itu. “Karena ketika beliau
mendirikan Santi Asromo penuh perjuangan dan ujian," ujar Dadah. Hingga
kini bangunan Santi Asromo telah berkembang dan berdiri kokoh di atas tanah se luas
12 hektare dengan fasilitas pondok pesantren, Madrasah Ibtidaiyah PUI, SMP
Prakarya
dan SMA Prakarya.
Sekretaris Jenderal Persatuan Umat
Islam (PUI) Ahmadie Thaha menilai, model pendidi kan Santri Asromo yang
mengajarkan santri entrepreneurship melampaui zamannya. “Waktu itu ada mesin
jahit dan percetakan. Jadi bisa dibayangkan zaman itu saja sudah modern”, ujar
Ahmadie.
Abdul dianggap berjasa telah mempersatukan
dua organisasi massa besar Islam pada 1952. Dia, sebagai Ketua Umum Perikatan
Umat Islam, bersama Kiai Haji Ahmad Sanusi, Ketua Umum Persatuan Umat Islam Indonesia
(PUUI), bersepakat untuk melakukan fusi kedua organisasi Islam tersebut menjadi
Persatuan Umat Islam (PUI). Isu persatuan kala itu mengemuka karena umat Islam
sedang diambang ancaman perpecahan akibat perbedaan orientasi politik. “Kendati
begitu Abdul
Halim tidak membatasi diri untuk
berpolitik," kata Ahmadie. Penyatuan itu merupakan dampak dari
persahabatan panjang kedua ulama asal Jawa Barat tersebut, sejak mereka belajar
bersama-sama di Mekah. “Pendidikan di Mekah itu memberikan pengaruh bagi
pembangunan nasionalisme mereka”, kata Miftahul.
Tak hanya dikenal sebagai tokoh
organisasi masyarakat, Abdul juga seorang penulis yang produktif. “Abdul Halim bukan
sekadar menulis masalah agama, fikih, akidah, tapi beliau juga menulis mengenai
ekonomi Islam”, ujar Miftahul.
Umumnya, karya Abdul diterbitkan dalam
bentuk brosur dan buku kecil. Termasuk dimuat dalam beberapa majalah, seperti Suara
Persyarikatan Ulama, As-Syuro, al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam, Suara Muslimin
Indonesia dan Suara MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia).
Ulama besar tanah Pasundan ini
menghadap ilahi, pada 17 Mei 1962, dalam usia 74 tahun. “Beliau meninggal harta
bendanya diwakafkan untuk madrasah dan institusi pendidikan. Bahkan rumah
pribadinya diberikan untuk PUI”, ujar Dadah.
Tentang Abdul
Halim
Pendidikan:
-
Pondok
Pesantren Ranji Wetan, Majalengka, di bawah bimbingan KH. Anwar.
-
Pesantren
Lontangjaya, Desa Penjalin, Kecamatan Leuwimunding, Majalengka, di bawah
bimbingan KH. Abdullah.
-
Pesantren
Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon, di bawah asuhan KH. Sijak
-
Pesantren
Ciwedas, Cilimus, Kuningan di bawah asuhan K.H. Ahmad Sobari
-
Pesantren
Kedungwangi, Pekalongan, Jawa Tengah di bawah asuhan KH. Agus Berangkat ke
Mekkah pada 1908 dan berguru kepada empat orang ulama: yaitu Syekh Ahmad Khatib,
Syekh Ahmad Khayyat, Emir Syakib Arstan, dan Syekh Tanthawi Jauhari.
Organisasi dan
Jabatan
-
Majelis
Ilmu (1911)
-
Hayatul
Qulub (1912)
-
Jam'iyah
I'anah al Muta'alimin (1916)
-
Anggota
pengurus Majlis Islam Ma Indonesia (1937)
-
Santi
Asromo (April 1942)
-
Perikatan
Umat Islam (1942)
-
Persatuan
Umat Islam (1952)
-
Pengurus
Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)
- Anggota
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu
Zyunbi Tyoosakai) pada 1945
-
Anggota
Komite Nasional indonesia Daerah (KNID) Karisidenan Cirebon
-
Anggota
Konstituante pada 1955
Keahlian
-
Menguasai
bahasa Arab, Belanda dan Cina
Penghargaan
-
Bintang
Mahaputera Utama dari Presiden Republik Indonesia sebagai salah satu pendiri
Republik.
-
Gelar
pahlawan nasional pada 2 November 2008 berdasarkan Surat Keputusan Presiden
Nomor 041/TK/2008.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !