Headlines News :
Home » , » Indahnya Kisah Hukum di Zaman Umar

Indahnya Kisah Hukum di Zaman Umar

Written By Unknown on Minggu, 17 Februari 2013 | 17.39

Islamedia - Umar sedang duduk beralas surban di bebayang pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya bersyuraa bahas aneka soal. Tiga orang muda datang menghadap; 2 bersaudara berwajah marah yang mengapit pemuda lusuh nan tertunduk dalam belengguan mereka.

�Tegakkan keadilan untuk kami hai Amiral Mukminin�, ujar seorang, �Qishash-lah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!�

Umar bangkit. �Bertaqwalah pada Allah�, serunya pada semua. �Benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?�, selidiknya.

Pemuda itu menunduk sesal. �Benar wahai Amiral Mukminin!�, jawabnya ksatria. �Ceritakanlah pada kami kejadiannya!�, tukas Umar.

�Aku datang dari pedalaman yang jauh�, ungkapnya, �Kaumku mempercayakan berbagi urusan muamalah untuk kuseslesaikan di kota ini.�

�Saat sampai�, lanjutnya, �Kutambatkan untaku di satu tunggul kurma, lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut & terpana�

�Tampak olehku seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak & ragas-rigis tanamannya�

�Sungguh aku sangat marah & dengan murka kucabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini.�

�Wahai Amiral Mukminin�, ujar seorang penggugat, �Kau telah dengar pengakuannya, dan kami bisa hadirkan banyak saksi untuk itu.�

�Tegakkanlah had Allah atasnya!�, timpal nan lain. Umar galau & bimbang setelah mendengar lebih jauh kisah pemuda terdakwa itu.

�Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih & baik�, ujar �Umar, �Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat�

�Izinkan aku�, ujar Umar, �Meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan Diyat atas kematian ayahmu.�

�Maaf hai Amiral Mukminin�, potong kedua pemuda dengan mata masih nyala memerah; sedih & marah, �Kami sangat sayangi ayah kami.�

�Bahkan andai harta sepenuh bumi dikumpulkan tuk buat kami kaya�, ujar salah satu, �Hati kami hanya kan ridha jiwa dibalas jiwa!�

Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilainya amanah, jujur, & bertanggungjawab; tetap kehabisan akal yakinkan penggugat

�Wahai Amiral Mukminin�, ujar pemuda tergugat itu dengan anggun & gagah, �Tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah Qishash atasku.�

�Aku ridha pada ketentuan Allah�, lanjutnya, �Hanya saja izinkan aku menunaikan semua amanah & kewajiban yang tertanggung ini.�

�Apa maksudmu?�, tanya hadirin. �Urusan muamalah kaumku�, ujar pemuda itu, �Berilah aku tangguh 3 hari untuk selesaikan semua.�

. �Aku berjanji dengan nama Allah yang menetapkan Qishash dalam Al Quran, aku kan kembali 3 hari dari sekarang tuk serahkan jiwaku�

�Mana bisa begitu!�, teriak penggugat. �Nak�, ujar �Umar, �Tak punyakah kau kerabat & kenalan yang bisa kau limpahi urusan ini?�

�Sayangnya tidak hai Amiral Mukminin. Dan bagaimana pendapatmu jika kematianku masih menanggung hutang & tanggungan amanah lain?�

�Baik�, sahut �Umar, �Aku memberimu tangguh 3 hari; tapi harus ada seseorang yang menjaminmu bahwa kau tepat janji tuk kembali.�

�Aku tak memiliki seorangpun. Hanya Allah, hanya Allah, yang jadi penjaminku wahai orang-orang yang beriman padaNya�, rajuknya.

�Harus orang yang menjaminnya!�, ujar penggugat, �Andai pemuda ini ingkar janji, dia yang kan gantikan tempatnya tuk di-Qishash!�

�Jadikan aku penjaminnya hai Amiral Mukminin!�, sebuah suara berat & berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Itu Salman Al Farisi.

�Salman?�, hardik Umar, �Demi Allah engkau belum mengenalnya! Demi Allah jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!�

�Pengenalanku padanya tak beda dengan pengenalanmu ya Umar�, ujar Salman, �Aku percaya padanya sebagaimana engkau mempercayainya�

Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu & menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya. Tiga hari berlalu sudah.

Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar-mandir. Penggugat mendecak kecewa. Semua hadirin sangat khawatirkan Salman. Sahabat perantau negeri-pengembara iman itu mulia & tercinta di hati Rasul & sahabatnya.Mentari di hari batas nyaris terbenam; Salman dengan tentang & tawakkal melangtkah siap ke tempat Qishash. Isak pilu tertahan.Tetapi sesosok bayang berlari terengah dalam temaram, terseok terjerembab lalu bangkit & nyaris merangkak. �Itu dia!�, pekik Umar

Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh & nafas putus-putus ambruk ke pangkuan Umar. �Maafkan aku!�, ujarnya. �Hampir terlambat.�

�Urusan kaumku makan waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun & terpaksa kutinggalkan, lalu kuberlari..�

�Demi Allah�, ujar Umar sambil menenangkan & meminumi, �Bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?�

�Supaya jangan sampai ada yang katakan�, ujar terdakwa itu dalam senyum, �Di kalangan muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji.�

�Lalu kau hai Salman�, ujar Umar berkaca-kaca, �Mengapa mau-maunya kau jadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama-sekali?�

�Agar jangan sampai dikatakan�, jawab Salman teguh, �Di kalangan muslimin tak ada lagi saling percaya & menanggung beban saudara�

�Allahu Akbar!�, pekik 2 pemuda penggugat sambil memeluk terdakwanya, �Allah & kaum muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya�

�Kalian�, kata Umar makin haru, �Apa maksudnya? Jadi kalian memaafkannya? Jadi dia tak jadi di-Qishash? Allahu Akbar! Mengapa?�

�Agar jangan ada yang merasa�, sahut keduanya masih terisak, �Di kalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan & kasih sayang.�

Demikian kisah kasus Hukum di zaman Umar yang di saya copas dari http://dazzdays.wordpress.com/2013/01/19/indahnya-kisah-hukum-di-jaman-umar/ copas juga dari twitter  Salim A. Fillah di @salimafillah

Nurul Wahyu
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Translate

English French German Spain Russian Korean Arabic Chinese Simplified
 
Support : Tim Media Pemuda PUI
Copyright © 2014. PEMUDA PUI - All Rights Reserved