Headlines News :
Home » » Dakwah Islam sebagai Titik Temu Perjuangan*

Dakwah Islam sebagai Titik Temu Perjuangan*

Written By Unknown on Jumat, 23 Januari 2015 | 00.27


PADA dasarnya umat Islam itu satu tubuh dan memiliki cita-cita besar yang sama. Keragaman elemen (organisasi atau institusi) umat Islam hanyalah varian yang menunjukan bahwa Islam adalah agama yang dapat dipahami dan didakwahkan dengan cara dan pola yang beragam pula. Hal ini kemudian berefek positif kepada beragamnya elemen yang memperjuangkan Islam. Jadi, dakwah Islam-lah yang menjadi titik temu perjuangan umat Islam.

Dalam perjalanan sejarah dapat dipahami bahwa Islam sekaligus umatnya kerap menghadapi berbagai tantangan. Menurut KH. Syamsul Bahri, diantara tantangan yang cukup mengkhawatirkan adalah tantangan berupa virus yang menghinggap umat Islam yaitu, pertama, virus al-wahn (cinta dunia dan takut mati), kedua, gemar bahkan bangga berbuat dosa.

Penyebab kedua virus ini tentu saja banyak, misalnya, kebodohan, kemiskinan, frustasi, tidak punya izzah (harga diri) dan mudah terhasut opini atau citra buruk terhadap Islam dan umatnya yang bersumber dari mereka yang tidak menghendaki bangkitnya Islam. 

Untuk itu, umat Islam perlu menyiapkan generasi yang siap berjihad-mendakwahkan agamanya. Islam perlu para da’i tangguh yang siap membentengi aqidah dan sistem kehidupan umat Islam dari berbagai penyakit dan citra buruk yang kerap menghantui. Para da’i yang dibutuhkan tentu saja memiliki kualifikasi yang khas, selain kemapuan juga akhlak atau keteladanan.  

Sebagai salah satu upaya “melawan” pencintraan buruk terhadap Islam dan umatnya, maka Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi massa Islam telah melakukan langkah-langkah maju. Menurut Ketua PP Muhammadiyah Prof. DR. Dadang Kahmad pada ulang tahun 2011 saja, misalnya Muhammadiyah telah mendirikan sarana dakwah yaitu TV Muhammadiyah.  Kemudian pada 2014 Muhammadiyah meluncurkan konten dalam HP semacam aplikasi yang bisa diupload yang isinya adalah program program dakwah yang konkrit bagi perbaikan umat dan bangsa.

Selain itu, sebagai upaya dakwah Muhammadiyah juga telah mencoba mengobjektivikasi prinsip-prinsip dakwah Islam dalam konteks yang lebih terbuka dan riil sesuai dengan kebutuhan dakwah Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Sekadar contoh, Muhammadiyah telah mendirikan Universitas Muhammadiyah Kupang di Kupang-NTT.

Kita tentu mafhum bahwa NTT berpenduduk dengan mayoritas (baca: sekitar 50%) Katolik, sedangkan umat Islam hanya sekitar 25% dari penduduk NTT. Sisanya Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Tapi, apakah dakwah Islam mesti berdiam diri atau mundur ke belakang? Tentu saja tidak.

Walau realitas sosial sekaligus sosiologis di NTT demikian adanya, Muhammadiyah tetap memilih untuk berperan aktif. Muhammadiyah meyakini bahwa Islam merupakan agama berkemajuan (progresif) dan berperadaban. Ciri utamanya adalah kesiapan dan kepantasan menjadi sumber nilai dan prinsip hidup bagi manusia yang beragam latar.

Dengan begitu, Islam sejatinya menentang pemisahan yang kerap dilakukan secara serampangan. Pandangan dikotomis yang dihadirkan oleh penganut paham sekularisme adalah kenyataan yang ditentang oleh Muhammadiyah bahkan oleh Islam itu sendiri.

Jadi, kehadiran berbagai institusi Muhammadiyah (terutama di daerah minoritas) adalah bagian dari upaya Muhammadiyah dalam mengejahwantahkan pesan-pesan Islam dengan tujuan menghadirkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Di sinilah cita rasa Islam menjadi relevan dan dapat dinikmati oleh umat Islam bahkan oleh non muslim.

Bagaimanapun, dakwah merupakan satu proses jangka panjang yang membutuhkan pola dan strtegi yang mendatangkan maslahat. Dakwah mesti mampu menghadirkan manfaat sebesar-besarnya bagi kebutuhan hidup umat manusia dalam berbagai aspeknya. 

Pemahaman semacam ini hanya akan menjadi pemahaman yang terintegrasi dalam tubuh umat Islam manakala umat Islam selalu memiliki tekad dan kesungguhan dalam mengkaji Islam sehingga mampu meningkatkan produktifitas dakwah Islam. Di samping itu, juga keseriusan umat Islam dalam mengelola zakat sebagai penunjang aspek ekonomi, juga aspek pendidikan, aspek kesehatan dan aspek pengetahuan umat Islam.

Saat ini dan ke depan, umat Islam akan mengalami tantangan bertubi-tubi yang membutuhkan kesiapan dan kesigapan umat Islam. Paham-paham “nyeleneh” saja masih terus menyebar, misalnya: pluralisme, liberalisme, kesetaraan gender serta tantangan kelokalan seperti kemiskinan, kualitas manusia, dan sebagainya.  

Kita tentu masih optimis bahwa umat Islam selalu siap dan bersedia menghadapi tantangan dakwah semacam itu. Di sini yang dibutuhkan adalah paradigma berpikir umat Islam yang mesti transendensi: semuanya untuk kepentingan dakwah kepada Allah. Misalnya, ekonomi untuk dakwah, pendidikan untuk dakwah, politik untuk dakwah, sosial budaya untuk dakwah, dan begitu seterusnya.

Bukan saja Muhammadiyah, Hidayatullah yang juga punya peran besar dalam dakwah Islam di Indonesia telah mencoba melakukan upaya-upaya dakwah sesuai dengan kebutuhan kekinian dakwah Islam. Misalnya, Hidayatullah mendidirkan berbagai pondok pesantren dari tingkat paling awal sampai menengah atas, bahkan mendirikan berbagai perguruan tinggi di beberapa propinsi. Melalui institusi pendidikan semacam inilah generasi muda disiapkan (baca: dididik), sehingga mereka matang dan siaga menerima amanah dakwah kapan dan di manapun.

Kader-kader Hidayatullah sendiri sudah menyebar ke hampir seluruh bumi Indonesia. Mereka dikirim ke seluruh pelosok untuk membangkitkan umat Islam dari tidur lelapnya, lalu mengajak mereka untuk menunaikan kerja-kerja besar sebagai umat terbaik dalam sejarah hidup manusia.

Dalam konteks itu, Hidayatullah telah membentengi mereka dengan bekal yang cukup. Misalnya, mereka mesti punya stok: niat ikhlas, visi besar, cita-cita luhur, optimis dengan agenda perjuangan; di samping ilmu pengetahuan dari berbagai aspeknya.

Sebagaimana ormas yang sduah dijelaskan di awal, ternyata Ikatan Dai Indonesia (IKADI) juga megambil peran. Pengurus pusat IKADI, Dr. Ahmad Kusyaeri Suail mengakui bahwa sejak 2002 IKADI sudah tersebar di 30 povinsi di seluruh Indonesia. Diantara kompetensi da’i IKADI yaitu (1) kompetensi fikriyah (pemikiran ilmiah), (2) kompetensi perilaku dan (3) kompetensi da’wah.

Adapun dalam konteks dakwah dan sosial, IKADI memiliki 5 peran penting yaitu peran tauhid, peran tauiyah, peran taujih, peran irsyad, dan peran himayah.

Sebagai penunjang dakwah, IKADI telah membentuk majelis Qur’an Hadits, Bina Desa, Buletin Tafakkur, Website ikadi.org dan Pustaka IKADI. Dengan penunjang semacam ini harapannya perjalanan dakwah dan peran sosial yang diemban oleh IKADI dapat berjalan dengan baik dan masif.

Berdakwah tentu bukan aspek ibadah semata, tapi juga urusan dunia yang berlaku bagi seluruh umat manusia. Dalam konteks ini, misalnya, umat Islam mesti berdaya dan kontributif dalam percaturan politik Indonesia. 

Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR RI, asal Partai Keadilan Sejahtera, PKS) mengakui betapa pentingnya umat Islam untuk mengambil bagian strategis dalam menata atau mengelola negara. Diakui oleh tokoh reformasi dan legislator yang “sangat berani” tersebut bahwa kehidupan ini adalah pergumulan antara berbagai manusia yang beragam latar. Berbagai latar manusia bertarung di sini.

Di sini bukan soal kalah atau menang, tapi bagaimana bermanfaat atau tidak bermanfaat. Keberadaan mereka yang kerap menghadirkan manfaat-lah yang patut menjadi domain pemikiran kita ke depan. 

Selain itu, ada sektor lain yang juga mesti menjadi domain pemikiran dan agenda umat Islam yaitu sektor pasar. Kita tentu tahu bahwa pengusaha muslim di negeri mayoritas muslim ini sangat sedikit. Karena itu, umat Islam mesti mampu mendayagunakan sektor ini secara riil dan masif. Pada saat yang sama umat Islam juga perlu “mengajak” elemen lain yang menguasai sektor ini untuk membangun negara.

Dengan begitu, umat Islam elemen (baca: sektor) penting lain tidak termarjinalkan, tapi justru semakin berdaya dan kontributif. Dalam kata umat itu sendiri mengandung makna yang luhur seperti soliditas, kesepahaman dan saling percaya serta kesiapan untuk berkontribusi, yang meniscayakan kita mampu bersaing dan megambil peran penting pembangunan bangsa dan negara.  

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah media massa. Selain sebagai instrumen bernegara, ia juga merupakan instrumen bermasyarakat bahkan berdakwah. Dengan demikian, kita mesti memiliki peta skenario dalam memandang kehadiran media massa dalam pentas bernegara. Tidak saja melihatnya dari sisi informasi, tapi juga dari sisi kepentingan politik dan ekonomi dengan bangunan juga kerangka ideologi yang dianutnya.

Dari empat hal di atas (negara, pasar, umat dan media massa), manakah yang kini sudah menjadi instrumen yang dikendalikan umat Islam dalam perjuangan dakwah? Kita mesti akui secara jujur bahwa kita masih belajar dan perlu banyak belajar menuju arah itu. Karena itu, umat Islam tidak perlu menyibukkan diri dengan riak-riak kecil yang sejatinya tak ada pengaruhnya terhadap agenda keumatan dan kebangsaan. Mari biasakan diri untuk hidup terbuka dan bersedia membersamai bahkan berhadapan dengan orang lain, tapi tidak melupakan identitas kita sebagai muslim.

Sekadar contoh praktik riil yang mendayagunakan sektor-sektor di atas adalah Turki. Ya, Indonesia—terutama partai berbasis massa Islam seperti PKS, PPP dan sebagainya—perlu banyak belajar ke Turki. Erdogan dengan AKP-nya mampu menghadirkan pola baru yang efektif dalam bernegara. Bangunan ekonomi, sosial, budaya bahkan pertahahanan negaranya benar-benar adaptif dengan nalar bernegara era modern. Erdogan pun bukan saja mendapat dukungan dan simpati umat Islam di Turki dan dunia Islam, tapi juga warga dunia—termasuk negara-negara Eropa.

Dalam konteks sejarah sebetulnya kita memiliki teladan yang sangat menyejarah bahkan diakui sebagai pemimpin terbaik dunia dalam sejarah umat manusia. Siapapun tahu siapa “manusia unik” itu, beliau adalah Nabi Muhammad Saw. Jika kita ingin membangun peradaban masyarakat, bangsa dan negara bahkan dunia modern, maka manusia yang layak dijadikan model sekaligus contoh (teladan, uswah) adalah beliau, Rasulullah Saw. Kenali dirinya, pelajari sejarahnya lalu temukan inspirasi perjuangan yang menghidupkan.

Di atas segalanya, mudah-mudahan dengan beragamnya institusi keumatan tidak membuat kita saling membelakangi, tapi justru menjadi peluang bagi kita untuk selalu berhadapan: bertemu mencari titik temu perjuangan. [] 
 
*) Instisari Disuksi Pra Muktamar PUI ke-13

 
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Translate

English French German Spain Russian Korean Arabic Chinese Simplified
 
Support : Tim Media Pemuda PUI
Copyright © 2014. PEMUDA PUI - All Rights Reserved