Headlines News :
Home » , » Menanti Hujan

Menanti Hujan

Written By Unknown on Rabu, 10 April 2013 | 21.27


Sudah berminggu-minggu sungai itu mengering. Warga yang senantiasa pergi ke sawah pun sudah tak nampak lagi di ladang mereka. Benih mereka ada, tenaga mereka siap, kerbau dan alat bajak sudah tinggal jalan. Namun yang sekarang mereka berhenti keluhkan, kalaupun mengeluh, air juga tak kunjung datang.
Pemerintah Desa sendiri sampai kelimpungan melayani protes masyarakat tentang bagaimana upaya Pemerintah Desa untuk mengairi lading mereka.  Bagaimana saya menjawab pertanyaan saudara jika saya saja bertanya-tanya bagaimana caranya mengairi sawah bengkok punya desa agar tetap bisa ditanami. Lihat saja, sawah sekarang alih fungsi jadi lapangan bola anak-anak. Tutur Kepala Desa sambil menunjuk ladang yang digunankan anak-anak bermain bola.

Awalnya sungai masih cukup baik untuk mengairi ladang dan memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar. Kepandaian yang tak pernah mereka dapat dibangku sekolah tetapi alam sendiri telah mengajarkan akan hal tersebut. Warga desa paham air sungai tidak cukup baik untuk mereka gunakan secara langsung. Air sungai dipompa dan dialirkan ke pekarangan rumah-rumah mereka.
Resapan air sungai dari tanah mengalir hingga sumur-sumur warga. Secara alami tanah melakukan penyaringan kuman dan kotoran dari sungai. Namun waktu tak mau kalah berlari. Lambat laun debit air di sumur perlahan mulai berkurang. Masyarakat menjadi semakin resah ketika sumur mereka sudah tidak bisa berfungsi lagi.

Mereka mulai mempertimbangkan tawaran dari tetangga desa sebelah terkait pemasangan air pam. Namun untuk memulai itu mereka harus menguras kantong mereka dalam-dalam dan menjadi berfikir dua kali ketika ditabrakkan dengan kondisi keuangan mereka yang belum bisa menambah penghasilan.

Seminggu sekali mereka mengangsu air di masjid desa tetangga yang berjarak sangat jauh. Dengan membawa jerigen mereka bersepeda dan menggenggam surat keterangan tidak mampu dari desa yang nanti akan ditujukan kepada pengurus masjid. Hanya itu yang mampu membebaskan mereka dari penarikan uang pembelian air.

Dapat dimaklumi pengurus masjid mengambil sikap seperti itu, karena masyarakat sekarang terkadang tidak mempunyai perasaan malu dan berbuat seenak udelnya. Orang yang mampu, karena mendengar ada yang gratisan di suatu tempat meski itu bukan haknya, tetap saja mereka ikut mengantri berdesak-desakan. Bahkan omongan miring dari orang-orang disekitarnya saja tidak digubrisnya. Pertanda hati yang mengeras dan tak punya rasa empati terhadap sesamanya.

Pertemuan dengan teman lama yang tak disangka sempat memberikan angin sejuk bagi desa ini. Ternyata ia bekerja di PKPU, sebuah lembaga kemanusiaan. Ia bersama kawannya melakukan peninjauan ke desa dan bersepakat menyalurkan bantuan air bersih.

Spontan masyarakat berdatangan dan mengantri begitu melihat mobil tangki berisi bantuan air menghampiri desa. Pemandangan yang sangat langka bagi kami dan teman saya juga memberikan kesan tersendiri.

Bagi saya pemandangan ini sempat saya temui ditelevisi saat masyarakat berebut dalam antrian sembako saat menjelang lebaran dua tahun lalu. Ironis memang jika bisa dikatakan. Sumber air yg terkadang tidak menjadi problem bagi orang-orang kebiasaan, orang Jawa terutama, sekarang bisa jadi mengalahkan rasa kemanusiaan yg terkadang bermunculan egoisitas masing-masing demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Menunggu hujan.

Melihat kabar dibeberapa kota sudah turun hujan. Lantas kapan Dia mendatangkan hujan ke Desa. Bahkan kucing saja sekarang sudah tidak berebut ikan dengan manusia. Tapi berebut air dalam tempayan yang membuat sang majikan melemparkan gayung kosong kearahnya.

Ketika beberapa warga berdatangan ke salah satu Kyai desa untuk meminta doa dan mengusulkan untuk mengadakan sholat minta hujan, sholat istisqo. Sang Kyai menyampaikan pada warga untuk saling berdoa di rumah masing-masing dan di dalam setiap doa mereka untuk mohon ampunan dan meridhoi desa ini.

Perkara sholat istisqo tidak lah perkara gampang. Ujarnya. Kesiapan hati dan niat yang ikhlas kudu di tata terlebih dulu sebelum kita melakukan sholat Istisqo. Tambahnya. Kalian setiap harinya marah-marah, mengumpat, bahkan kadang kucing yang tidak salahpun kalian lempari gayung. Bersihkan hati kalian dulu. Sana ramaikan musholla dan masjid. Baru kembali ke sini untuk meminta mengadakan sholat Istisqo. Hardiknya keras.

Para warga yang semula berduyun-duyun datang dengan muka tegap dan berlagak sholeh, mereka membalikkan tubuh dengan perasaan lunglai dan lemas. Mereka sadar bencana ini bukan semata cobaan saja, tetapi lebih dari itu.

Sesaat mereka melewati musholla yang ditunjuk oleh sang Kyai, mimik wajah trenyuh dan tatapan mata yang basah menghiasi raut muka mereka saat mengamati musholla using penuh debu itu. Betapa egoisnya mereka. Bagaimana kita akan diperhatikan oleh Yang Maha Pemberi Berkah kalau rumah-Nya saja tidak pernah mereka rawat. Batin mereka.

Mereka saling berpandangan dan mengangguk seakan terhubung hati mereka untuk bersepakat melakukan hal yang sama. Tak ubahnya seperti kuda yang melihat singa mengejar mereka berlari pontang panting bergegas menuju rumah masing-masing.

Catatan kecil musim kemarau
Sumodisastro, 20 September 2012

Bagus Pandu Wicaksana, SS

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Translate

English French German Spain Russian Korean Arabic Chinese Simplified
 
Support : Tim Media Pemuda PUI
Copyright © 2014. PEMUDA PUI - All Rights Reserved